Semar Dalam Kaligrafi

Diposting oleh Fachrudin Isnaeni on Minggu, 04 Mei 2014


Eyang Semar, nama ini mempunyai arti tersendiri bagi saya. Sosok yang selalu mengingatkan akan pentingnya menjaga keluhuran Gusti.

Dari tempat pertapaannya di Podomo Somoro Topo ( tmpt ini beliau yang bilang ) beliau tidak segan-segan turun untuk mengingatkan setiap anak manusia yang mencari keluhuran Gusti.

Tulisan ini saya copy paste dari berbagai sumber untuk penghormatan kepada beliau karena entah kenapa tadi malam saya mimpi beliau . Semoga dapat menjadi bahan belajar bersama ( termasuk saya ) dalam peziarahan hidup ini. Mengingatkan kita untuk menjalani hidup dengan cara kita sendiri meskipun cara itu dianggap tidak wajar ( karena tidak dengan bergelimang harta, tahta dan wanita hehehehehe ). Menjadi ksatria berani memilih dan berani menjalani konsekuensinya begitulah beliau mendidik untuk mencapai kebahagiaan sejati masing-masing pribadi. Semoga saja saya tidak salah dalam menerjemahkan setiap dawuh yang turun meski memang banyak yang masih saya tidak bisa mengerti dengan otak dan rasa ( hikss berbahasa jawa kuno )

“Jiwa tan keno kiniro roso sejati tansah jinogo”

Akhir kata selamat membaca, belajar dan berproses! Rahayu!





Makna Simbolisasi Semar :

Ucapan Mbah Semar setiap kali mau mengawali dialog: “mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak dulito, langgeng…” (diam, bergerak/berusaha, makan, walaupun sedikit, abadi)

Maksudnya, daripada diam (mbergegeg) lebih baik berusaha untuk lepas (ugeg-ugeg) dan mencari makan (hmel-hmel) walaupun hasilnya sedikit (sak ndulit) tapi akan terasa abadi (langgeng). Sebuah pesan agar kita selalu bekerja keras untuk mencari nafkah walaupun hasilnya hanya cukup untuk makan namun kepuasan yang didapat karena berusaha tersebut akan abadi.

Bentuk Fisik Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagadraya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi,tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.

Keistimewaan Semar Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.

Tangan kanan keatas : Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tunggal.

Tangan kirinya kebelakang : berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik.

Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa.

Rambut semar “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi.

Semar berjalan menghadap keatas : dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (Gusti Kang Murbeng Dumadi/Maha Pencipta ) yang maha pengasih serta penyayang umat.

Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar Hamemayu hayuning bawono : menegakan keadilan dan kebenaran di bumi.



Ciri sosok semar adalah:

- Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua

- Semar tertawanya selalu diakhiri nada tangisan

- Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa

- Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok

- Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekuensi atas nasehatnya

Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Islam di tanah Jawa.

Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah religius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.

Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .

Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.







Gambar kaligrafi jawa tersebut bermakna :

Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan. Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma”, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.



Bocah Bajang nggiring angin



anawu banyu segara



ngon-ingone kebo dhungkul



sa sisih sapi gumarang



Teks empat baris yang menggambarkan Bocah Bajang (anak yang tidak bisa besar atau cacat) tersebut merupakan salah satu Jineman atau lagu yang selalu dikumandangkan pada pegelaran Wayang Purwa, khusus untuk mengiringi munculnya tokoh Semar pada waktu goro-goro. Hal tersebut tidak secara kebetulan, tetapi merupakan sebuah ekspresi kreatif untuk menyampaikan sesuatu makna yang dianggap penting, melalui lagu Bocah Bajang dan wayang Semar.



Semar merupakan gambaran Kesempurnaan yang tinggal dan hidup dalam manusia yang lemah dan cacat.



Tokoh Semar mempunyai sifat pribadi yang mendua. Ia adalah dewa bernama Batara Ismaya, yang manitis (tinggal dan hidup) pada seorang manusia cebol, berkulit hitam, bernama Ki Semarasanta. Bentuk wayangnya pun dibuat mendua: bagian kepala adalah laki-laki, tetapi payudara dan pantatnya adalah perempuan. Rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak, tetapi sudah memutih seperti orang tua. Bibirnya tersenyum menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi matanya selalu basah seperti sedang menangis sedih. Oleh karena serba misteri, tokoh Semar dapat dianggap dewa, dapat pula dianggap manusia. Ya laki-laki, ya perempuan, ya orang tua dan sekaligus kanak-kanak, sedang bersedih tetapi dalam waktu yang sama juga sedang bergembira. Maka tokoh ini diberi nama Semar asal kata samar, yang berarti tidak jelas.

Batara Semar atau Batara Ismaya, yang hidup di alam Sunyaruri, sering turun ke dunia dan manitis di dalam diri Janggan Semarasanta, seorang abdi dari Pertapaan Saptaarga. Mengingat bahwa bersatunya antara Batara Ismaya dan Janggan Semarasanta yang kemudian populer dengan nama Semar merupakan penyelenggaraan Illahi, maka munculnya tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dlam kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri.

Dari bentuknya saja, tokoh ini tidak mudah diterka. Wajahnya adalah wajah laki-laki. Namun badannya serba bulat, payudara montok, seperti layaknya wanita. Rambut putih dan kerut wajahnya menunjukan bahwa ia telah berusia lanjut, namun rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak. Bibirnya berkulum senyum, namun mata selalu mengeluarkan air mata (ndrejes). Ia menggunakan kain sarung bermotif kawung, memakai sabuk tampar, seperti layaknya pakaian yang digunakan oleh kebanyakan abdi. Namun bukankah ia adalah Batara Ismaya atau Batara Semar, seorang Dewa anak Sang Hyang Wisesa, pencipta alam semesta.

Dengan penggambaran bentuk yang demikian, dimaksudkan bahwa Semar selain sosok yang sarat misteri, ia juga merupakan simbol kesempurnaan hidup. Di dalam Semar tersimpan karakter wanita, karakter laki-laki, karakter anak-anak, karakter orang dewasa atau orang tua, ekspresi gembira dan ekspresi sedih bercampur menjadi satu. Kesempurnaan tokoh Semar semakin lengkap, ditambah dengan jimat Mustika Manik Astagina pemberian Sang Hyang Wasesa, yang disimpan di kuncungnya. Jimat tersebut mempunyai delapan daya, yaitu: terhindar dari lapar, ngantuk, asmara, sedih, capek, sakit, panas dan dingin. Delapan macam kasiat Mustika Manik Astagina tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa, walaupun Semar hidup di alam kodrat, ia berada di atas kodrat. Ia adalah simbol misteri kehidupan, dan sekaligus kehidupan itu sendiri.

Jika dipahami bahwa hidup merupakan anugerah dari Sang Maha Hidup, maka Semar merupakan anugerah Sang Maha Hidup yang hidup dalam kehidupan nyata. Tokoh yang diikuti Semar adalah gambaran riil, bahwa sang tokoh tersebut senantiasa menjaga, mencintai dan menghidupi hidup itu sendiri, hidup yang berasal dari Sang Maha Hidup. Jika hidup itu dijaga, dipelihara dan dicintai maka hipup tersebut akan berkembang mencapai puncak dan menyatu kepada Sang Sumber Hidup, manunggaling kawula lan Gusti. Pada upaya bersatunya antara kawula dan Gusti inilah, Semar menjadi penting. Karena berdasarkan makna yang disimbolkan dan terkandung dalam tokoh Semar, maka hanya melalui Semar, bersama Semar dan di dalam Semar, orang akan mampu mengembangkan hidupnya hingga mencapai kesempurnaan dan menyatu dengan Tuhannya.

Selain sebagai simbol sebuah proses kehidupan yang akhirnya dapat membawa kehidupan seseorang kembali dan bersatu kepada Sang Sumber Hidup, Semar menjadi tanda sebuah rahmat Illahi (wahyu) kepada titahnya, Ini disimbolkan dengan kepanjangan nama dari Semar, yaitu Badranaya. Badra artinya Rembulan, atau keberuntungan yang baik sekali. Sedangkan Naya adalah perilaku kebijaksanaan. Semar Badranaya mengandung makna, di dalam perilaku kebijaksanaan, tersimpan sebuah keberuntungan yang baik sekali, bagai orang kejatuhan rembulan atau mendapatkan wahyu.

Dalam lakon wayang, yang bercerita tentang Wahyu, tokoh Semar Badranaya menjadi rebutan para raja, karena dapat dipastikan, bahwa dengan memiliki Semar Badranaya maka wahyu akan berada dipihaknya.

Masuknya Semar Badranaya dalam setiap kehidupan, menggambarkan masuknya Sang Penyelenggara Illahi di dalam hidup itu sendiri. Maka sudah sepantasnya, anugerah Ilahi yang berujud wahyu akan bersemayam di dalamnya. Karena apa yang tersembunyi di balik tokoh Semar adalah Wahyu. Wahyu yang disembunyikan bagi orang tamak dan dibuka bagi orang yang hatinya merunduk dan melakukan perilaku kebijaksanaan. Munculnya tokoh Semar diterjemahkan sebagai kehadiran Sang Illahi dalam kehidupan nyata dengan cara yang tersamar, penuh misteri.





CERMIN

Tokoh Semar juga disebut Ismaya, yang berasal dari Manik dan Maya. Manik itu Batara Guru, Maya itu Semar. Batara Guru menguasai kahiyangan para dewa dan manusia, sedangkan Semar menguasai bumi dan manusia. Manik dan Maya lahir dari sebuah wujud sejenis telur yang muncul bersama suara genta di tengah-tengah kekosongan mutlak (suwung-awang-uwung).

Telur itu pecah menjadi kenyataan fenomena, yakni langit dan bumi (ruang, kulit telur), gelap dan terang (waktu, putih telur), dan pelaku di dalam ruang dan waktu (kuning telur menjadi Dewa Manik dan Dewa Maya). Begitulah kisah Kitab Kejadian masyarakat Jawa.

Kenyataannya, ruang-waktu-pelaku itu selalu bersifat dua dan kembar. Langit di atas, bumi di bawah. Malam yang gelap, dan siang yang terang. Manik yang tampan dan kuning kulitnya, Semar (Ismaya) yang jelek rupanya dan hitam kulitnya. Paradoks pelaku semesta itu dapat dikembangkan lebih jauh dalam rangkaian paradoks-paradoks yang rumit.

Batara Guru itu mahadewa di dunia atas, Semar mahadewa di dunia bawah. Batara Guru penguasa kosmos (keteraturan) Batara Semar penguasa chaos. Batara Guru penuh etiket sopan santun tingkat tinggi, Batara Semar sepenuhnya urakan.

Batara Guru simbol dari para penguasa dan raja-raja, Semar adalah simbol rakyat paling jelata. Batara Guru biasanya digambarkan sering tidak dapat mengendalikan nafsu-nafsunya, Semar justru sering mengendaikan nafsu-nafsu majikannya dengan kebijaksanaan — kebijaksanaan. Batara Guru berbicara dalam bahasa prosa, Semar sering menggunakan bahasa wangsalan (sastra).

Batara Guru lebih banyak marah dan mengambil keputusan tergesa-gesa, sebaliknya Semar sering menangis menyaksikan penderitaan majikannya dan sesamanya serta penuh kesabaran.

Batara Guru ditakuti dan disegani para dewa dan raja-raja, Semar hanyalah pembantu rumah tangga para kesatria. Batara Guru selalu hidup di lingkungan yang “wangi”, sedang Semar suka kentut sembarangan. Batara Guru itu pemimpin, Semar itu rakyat jelata yang paling rendah.

Seabrek paradoks masih dapat ditemukan dalam kisah-kisah wayang kulit. Pelaku kembar semesta di awal penciptaan ini, Batara Guru dan Batara Semar, siapakah yang lebih utama atau lebih “tua”? Jawabannya terdapat dalam kitab Manik-Maya (abad ke-19).

Ketika Batara Semar protes kepada Sang Hyang Wisesa, mengapa ia diciptakan dalam wujud jelek, dan berkulit hitam legam bagai kain wedelan (biru-hitam), maka Sang Hyang Wisesa (Sang Hyang Tunggal) menjawab, bahwa warna hitam itu bermakna tidak berubah dan abadi; hitam itu untuk menyamarkan yang sejatinya “ada” itu “tidak ada”, sedangkan yang “tidak ada” diterka “bukan”, yang “bukan” diterka “ya”.

Dengan demikian Batara Semar lebih “tua” dari adiknya Batara Guru. Semar itu “kakak” dan Batara Guru itu “adik”, suatu pasangan kembar yang paradoks pula.

Semar itu lambang gelap gulita, lambang misteri, ketidaktahuan mutlak, yang dalam beberapa ajaran mistik sering disebut-sebut sebagai ketidaktahuan kita mengenai Tuhan.

Mengingat genealogi Semar yang semacam itu dalam budaya Jawa, maka tidak mengherankan bahwa tokoh Semar selalu hadir dalam setiap lakon wayang, dan merupakan tokoh wayang yang amat dicintai para penggemarnya. Meskipun dia hamba, rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam, namun di balik wujud lahir tersebut tersimpan sifat-sifat mulia, yakni mengayomi, memecahkan masalah-masalah rumit, sabar, bijaksana, penuh humor.

Kulitnya, luarnya, kasar, sedang dalamnya halus. Dalam ilmu politik, Semar adalah pengejawantahan dari ungkapan Jawa tentang kekuasaan, yakni “manunggaling kawula-Gusti” (kesatuan hamba-Raja). Seorang pemimpin seharusnya menganut filsafat Semar ini.

Seorang pemimpin sebesar bangsa Indonesia ini harus memadukan antara atas dan bawah, pemimpin dan yang dipimpin, yang diberi kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan, kepentingan hukum negara dan kepentingan objek hukum.

Hukum-hukum negara yang baik dari atas, belum tentu berakibat baik, kalau yang dari atas itu tidak disinkronkan dengan kepentingan dan kondisi rakyat. Manunggaling kawula-Gusti. Pemimpin sejati bagi rakyat itu bukan Batara Guru, tetapi Semar. Pemimpin sejati itu sebuah paradoks.

Semar adalah kakak lebih tua dari Batara Guru yang terhormat dan penuh etiket kenegaraan-kahiyangan, tetapi ia menyatu dengan rakyat yang paling papa. Dengan para dewa, Semar tidak pernah berbahasa halus, tetapi kepada majikan yang diabdinya (rakyat) ia berbahasa halus.

Semar menghormati rakyat jelata lebih dari menghormati para dewa-dewa pemimpin itu. Semar tidak pernah mengentuti rakyat, tetapi kerjanya membuang kentut ke arah para dewa yang telah salah bekerja menjalankan kewajibannya. Semar itu hakikatnya di atas, tetapi eksistensinya di bawah.

Badan halusnya, karakternya, kualitasnya adalah tingkat tinggi, tetapi perwujudannya sangat merakyat. Semar gampang menangis melihat penderitaan manusia yang diabdinya, itulah sebabnya wayang Semar matanya selalu berair. Semar lebih mampu menangisi orang lain daripada menangisi dirinya sendiri. Pemimpin Semar sudah tidak peduli dan tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi hanya memikirkan penderitaan orang lain. Ego Semar itu telah lenyap, digantikan oleh “yang lain”.

Semar itu seharusnya penguasa dunia atas yang paling tinggi dalam fenomena, tetapi ia memilih berada di dunia bawah yang paling bawah. Karena penguasa tertinggi, ia menguasai segalanya. Namun, ia memilih tidak kaya. Semar dan anak-anaknya itu ikut menumpang makan dalang, sehingga kalau suguhan tuan rumah kurang enak karena ada yang basi, maka Semar mencegah anak-anaknya, yang melalui dalang, mencela suguhan tuan rumah. Makanan apa pun yang datang padanya harus disyukuri sebagai anugerah. Batara Semar, di tanah Sunda, dikenal dalam wujud Batara Lengser.

Lengser, longsor, lingsir, selalu berkonotasi “turun”. Semar itu adalah pemimpin tertinggi yang turun ke lapis paling bawah. Seorang pemimpin tidak melihat yang dipimpinnya dari atas singgasananya yang terisolasi, tetapi melihat dari arah rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimin tidak menangisi dirinya yang dihujat rakyat, tetapi menangisi rakyat yang dihujat bawahan-bawahannya. Seorang pemimpin tidak marah dimarahi rakyatnya, tetapi memarahi dirinya akibat dimarahi rakyat.

Pemimpin sejati itu, menurut filsafat Semar, adalah sebuah paradoks. Seorang pemimpin itu majikan sekaligus pelayan, kaya tetapi tidak terikat kekayaannya, tegas dalam keadilan untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah namun tetap berkasih sayang. Filsafat paradoks kepemimpinan ini sebenarnya bersumber dari kitab Hastabrata atau Delapan Ajaran Dewa.

Dewa Kekayaan berseberangan dengan Desa Kedermawanan, yang bermakna seorang pemimpin harus mengusahakan dirinya (dulu, sebagai raja) agar kaya raya, tetapi kekayaan itu bukan buat dirinya, tetapi buat rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin Indonesia sekarang ini selayaknya seorang enterpreneur juga, yang lihai menggali kekayaan buat negara. Dewa Keadilan berseberangan dengan watak Dewa Kasih Sayang.

Seorang pemimpin harus membela kebenaran, keadilan, tetapi juga mempertimbangkan rasa keadilannya dengan kasih sayang untuk memelihara kehidupan.

Dewa Api (keberanian) itu berseberangan dengan Dewa Laut (air), yakni keberaniannya bertindak melindungi rakyatnya didasari oleh pertimbangan perhitungan dan kebijaksanaan yang dingin-rasional. Dewa Maut berseberangan dengan watak Dewa Angin.

Menumpas kejahatan dalam negara itu harus dipadukan dengan ketelitiannya dalam mengumpulkan detail-detail data, bagai angin yang mampu memasuki ruang mana pun.

Ajaran tua tentang kekuasaan politik bersumber dari Hastabrata tersebut, dan dimitoskan dalam diri Semar yang paradoks itu. Etika kekuasaan itu ada dalam diri tokoh Semar. Ia Dewa Tua tetapi menjadi hamba.

Ia berkuasa tetapi melayani. Ia kasar di kalangan atas, tetapi ia halus di kalangan bawah. Ia kaya raya penguasa semesta, tetapi memilih memakan nasi sisa. Ia marah kalau kalangan atas bertindak tidak adil, ia menyindir dalam bahasa metafora apabila yang dilayaninya berbuat salah. Bentuk badan Semar juga paradoks, seperti perempuan tetapi juga mirip lelaki, kombinasi ketegasan dan kelembutan.
More about

Kawruh Boso Jowo

Diposting oleh Fachrudin Isnaeni on Jumat, 13 September 2013

Kawruh Jowo
Pintere Wong Jawa ana ing tembung Kerata Basa
Oleh : aguspu
 
Mata pelajaran basa jawa pancen wis suwe ora tak demok.. Jaman SD nganti SMP wae aku oleh pelajaran bahasa daerah, jaman SMA aku wis ga entuk maneh.
Aku pengen ngelingke kanca-kanca kabeh bab iki. Miturut ilmu bahasa, ana tembung kang dadi tembung amarga bunyi utawa suarane kang krungu, lan artine.
contone tekek, jenenge tekek mergo suarane tekek..tekekk.. Tas kresek, mergo suarane kresek-kresek, lan sak panunggalane. Wong jawa malah luwih cerdas maneh ngartike tembung iku kanthi ngawur, sak-sake, nanging pas banget karo artine tembung kuwi. contone wong jawa ora ngomong “nasi”, nanging sega, amarga sega kuwi mbeseSEG dan marakke leGA.

Conto liyane:
gedhang : digeget sakbubare madhang,
kerikil : keri nang sikil
malah ana ing teknologi, wong jawa uga nggawe kerata basane, contone :
Sepeda : asepe tidak ada
Sepur :asepe metu ndhuwur
Ana maneh conto kang ana hubungane karo masalah agama:
ndilalah : Adiling gusti Allah
Ndelalah: ngandel marang Allah (percaya marang Tuhan)
Ana uga plesetan-plesetan kang ana di-kerata basa-ke:
Garwo : sigaraning nyawa (asline), njur diplesetke dadi “ketemune barang sigar karo barang dowo
kerikil : keri nang sikil, njur ana sing takon, “lha yen keripik”??… keri-keri ning…..(ning apik..)
conto liyane yaiku :
Bapak = bab apa-apa pepak (pepak kawruh lan pengalaman)
Batur = embat-embataning tutur
Bocah = mangane kaya kebo, pagaweane ora kecacah
Brekat = mak breg diangkat
Cangkir = dianggo nyancang pikir
Cengkir = kencenging pikir
Copet = ngaco karo mepet-mepet
Denawa = ngeden hawa (nguja hawa napsu)
Desember= gedhe-gedhene sumber
Garwa = sigaraning nyawa
Gedhang = digeget leh bar madhang
Gethuk = yen digeget karo manthuk-manthuk
Gerang = segere wis arang
Guru = digugu lan ditiru
Gusti = bagusing ati
Kaji = tekade siji (ngantebi panembahe marang Gusti Allah)
Kathok = diangkat sithok-sithok
Kodhok = teka-teka ndhodhok
Kutang = sikute diutang
Krikil = keri ing sikil
Kuping = kaku njepiping
Kupluk = kaku tur nyempluk
Kursi = yen diungkurake banjur isi
Ludruk = gulune gela-gelo, sikile gedrag-gedrug
Maling = njupuk amale wong sing ora eling
Mantu = dieman-eman meksa metu
Perawan = yen pepara (lelungan) kudu wayah awan
Saru = kasar tur kleru
Sekuter = sambi sedheku mlaku banter
Sepuh = sabdane ampuh
Simah = isining omah
Sirah = isining rah
Siti = isi bulu bekti
Sopir = yen ngaso mampir (ing warung)
Sruwal = saru yen nganti uwal
Tandur = nata karo mundur
Tapa = tatane kaya wong papa
Tarub = ditata supaya katon murub (asri)
Tayub = ditata supaya katon guyub
Tebu = antebing kalbu
Tepas = titip napas
Tuwa = ngenteni metune nyawa ; untune wia rowa
Wanita = wani ing tata
Wedang = dianggo gawe kadang
Weteng = ruwet tur peteng


Nha, kowe kabeh uga bisa nggawe seko ukara lan tembung-tembungmu dhewe..
Ayo nggawe sakkarepmu dhewe.. guyon maton lan guyon waton.. bebas nang kene… sumangga..
More about

Kata Mutiara Bahasa Jawa

Diposting oleh Fachrudin Isnaeni on Rabu, 11 September 2013

Kata Mutiara Bahasa Jawa - Kumpulan Kata kata Mutiara Bahasa Jawa, Kata mutiara adalah ungkapan yang mengandung nilai-nilai kebijakan dan falsafah pengajaran yang dikenal luas dalam suatu masyarakat. Begitu juga dengan masyarakat Jawa yang kental dengan kata mutiara Jawa. Dalam kata mutiara Jawa tersebut terkandung nilai-nilai kearifan, ajaran budi pekerti, larangan, anjuran, dan adab-adab.
JowoSEO sengaja berikan kata kata mutiara dalam bentuk bahsa jawa ini karena mungkin banyak sahabat blog ada yang membutuhkan.

Kata Mutiara Jawa

Berikut ini merupakan kumpulan kata mutiara Jawa beserta artinya.


Kata Mutiara Jawa - Huruf A

Arep jamure emoh watange: 
Mau enaknya tidak mau susahnya. 

Ana catur mungkur:
Tidak mau mencampuri urusan orang lain. 

Anak polah bapa kepradhah:
Orang tua bertanggung jawab atas perbuatan anaknya. 

Adigang, adigung, adiguna: 
Orang yang menyombongkan kekuatan, kekuasaan, dan kepandaiannya. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf B

Becik ketitik ala ketara:
Semua kebaikan akan terbalas dan setiap keburukan yang ditutupi akan terbuka. 

Bathok bolu isi madu: 
Orang yang sederhana tapi memiliki ilmu mendalam dan budi pekerti yang luhur. 

Byung-byung tawon kambu:
Orang yang suka berkumpul-kumpul tanpa ada keperluan. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf C

Cecak nguntal cagak:
Keinginan yang terlalu tinggi. 

Ciri wanci lelai ginawa mati:
Kebiasaan buruk yang susah diubah. 

Criwis cawis:
Orang yang mengkritik harus menyediakan solusi. 

Crah gawe bubrah, rukun gawe santosa:
Perselisihan membuat kerusakan, kerukunan melahirkan ketenteraman. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf D

Desa mawa cara negara mawa tata:
Setiap tempat memiliki aturan dan adat istiadat sendiri. 

Dhadhap ketuwuhan cangkring:
Sekumpulan orang baik yang disusupi orang yang buruk sifatnya. 

Durung cundhuk, acandhak:
Orang yang memberi komentar tanpa mengetahui duduk masalah yang sebenarnya. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf E

Embat-embat celarat:
Bekerja dengan cermat dan hati-hati. 

Esuk dhele, sore tempe:
Tidak bisa dipegang kata-katanya. 

Emban cindhe, emban siladan:
Pilih kasih, tidak berindak adil. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf G

Galuga sinalusur sari:
Orang yang baik rupa, tutur kata, dan budi pekertinya. 

Gendhon rukon:
Bekerja sama untuk meraih keuntungan bersama. 

Giri lusi janma tan kena ingina:
Orang yang terlihat bodoh ternyata memiliki pengetahuan luas. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf I

Idu didilat maneh:
Mengingkari apa yang sudah diucapkan.

Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani:
Yang di depan memberi contoh, yang di tengah memberi greget, yang di belakang memberi kekuatan. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf J

Jer basuki mawa beya:
Setiap keinginan membutuhkan biaya. 

Jalma angkara mati murka:
Orang yang celaka karena perbuatan jahatnya sendiri. 

Jarit luwas ing sampiran:
Orang yang berpendidikan tetapi tidak berguna karena tidak mau berkiprah di masyarakat. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf K

Kebo nusu gudel:
Orang tua yang tidak segan mengambil pelajaran dari orang muda. 

Kulak warta adol prungon:
Orang yang suka menyebar gossip. 

Kena iwake aja nganti butheg banyune:
Menyelesaikan masalah tanpa membuat keadaan menjadi keruh. 

Kriwikan dadi grojogan:
Hal sepele menjadi masalah besar. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf L

Lebak ilining banyu:
Orang kecil dan lemah selalu menjadi sasaran kesalahan. 

Lambe satumang kari semerang: 
Memberi nasihat tapi tidak pernah dihiraukan. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf M

Matang tuna numbak luput:
Orang yang selalu gagal. 

Milih-milih tebu boleng:
Terlalu pilah-pilih akhirnya malah mendapat yang buruk.

Mbrojol saselaning garu: 
Selamat dari keadaan buruk berkat kecerdikan. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf N

Nabok nyilih tangan:
Menyuruh orang lain berbuat jahat. 

Ngemping lara nggenjah pati:
Menantang bahaya.

Nyambung watang putung:
Merukunkan keluarga yang sedang berselisih. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf O

Obor blarak:
Semangat yang hanya menyala sebentar. 

Ora gonja ora unus:
Jelek wajahnya, jelek pula budi pekertinya. 

Othak-athik didudut angel:
Hal yang terlihat sepele, tapi saat dikerjakan ternyata sulit. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf P

Pitik trondhol diumbar ing padaringan:
Orang miskin yang dipercaya menjaga tempat penuh makanan. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf R

Rame ing gawe, sepi ing pamrih:
Ikhlas dan tanpa pamrih. 

Rawe-rawe rantas, malang-malang putung:
Tidak menyerah dengan semua rintangan. 

Rubuh-rubuh gedhang:
Orang yang hanya mengikuti apa yang dilakukan orang lain. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf S

Sembur-sembur adas, siram-siram bayem:
Sesuatu terlaksana karena doa dan dukungan orang banyak. 

Satru munggwing cangklakan:
Musuh dari kalangan keluarga. 

Sabar sareh mesthi bakal pikoleh:
Orang yang tekun pasti akan berhasil.

Kata Mutiara Jawa - Huruf T

Tekek mati ulone:
Celaka karena ucapan sendiri. 

Tinggal glanggang colong playu:
Tidak berani bertanggung jawab. 

Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati: 
Orang yang dibesarkan dengan kesulitan akan lebih kuat bertahan, orang yang diberarkan dengan kemudahan, cepat menyerah saat menerima masalah. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf U

Ucul saka kudangan:
Cita-cita yang tidak tercapai. 

Undhaking pawarta sudaning kiriman:
Kabar yang beredar berbeda dari aslinya. 

Huruf W

Wastra bedhah kayu pokah:
Orang yang menderita bertumpuk-tumpuk. 

Weruh ing grubyug, ora weruh ing rembug:
Berbuat ikut-ikutan tanpa mengerti tujuannya. 

Kata Mutiara Jawa - Huruf Y

Yitna yuwana, lena kena: 
Waspada akan selamat, ceroboh akan celaka. 

Yiyidan munggwing rampadan:
Orang jahat yang bertobat. 

Yoga anyangga yogi:
Murid mengikuti apa kata gurunya.

Kata Mutiara Jawa - Ngiloa Githoke Dhewe

Sebagian masyarakat sudah tahu bahwa di dalam bahasa Jawa terdapat banyak kata-kata mutiara yang bermakna agung. Sebenarnya, kata-kata mutiara Jawa ini adalah cerminan orang Jawa mengahadapi kehidupan, salah satunya ngiloa githoke dhewe. 
Arti secara harfiah dari ngiloa githoke dhewe adalah ‘bercerminlah pada tengkuknya sendiri’. 

  • Ngilo: bercermin.
  • Ngiloa: bercerminlah.
  • Githok: tengkuk.
  • Githoke: tengkuknya.
  • Dhewe: Sendiri.

Arti yang Tersirat

Arti yang tersirat dari kata mutiara Jawa ngiloa githoke dhewe adalah kita disuruh untuk melihat serta mengetahui lebih dalam tentang diri kita masing-masing. Setiap manusia pasti memiliki kebaikan dan kekurangan atau kelemahan. Kita semua dihimbau untuk menyadari kekurangan dan kelemahan yang dimiliki. 

Nilai yang Diajarkan

Kata mutiara Jawa ngiloa githoke dhewe berisi ajaran agar setiap manusia selalu mawas diri. Sikap mawas diri mampu membuat setiap orang mengeatahui kekurangan dan kelemahannya. Jika setiap orang telah menyadari kekurangan atau kelemahannya, pasti pada setiap dri manusia tidak terdapat perasaan lebih tinggi dari orang lain. Hal inilah yang pada akhirnya dapat menciptakan sikap rendah hati, tenggang rasa, dan mudah memberi maaf kepada orang yang pernah berbuat salah terhadap kita. 

Latar Belakang Falsafah

Latar belakang falasafah dari kata mutiara Jawa ngiloa githoke dhewe adalah Tuhan itu senantiasa suci dan benar, sedangkan manusia sebagai mahluk yang paling disayangi Allah selalu memiliki kecenderungan berperilaku bertentangan dengan sifat Tuhan. Ketika kita merenungkan diri, keadaan kita sama seperti orang lain yang cenderung berbuat dosa dengan jenis yang berbeda-beda satu sama lain.


=== UPDATE ===


Bersumber dari berbagai buku, kami telah merangkum Kata Mutiara Bahasa Jawa:
  1. “Tansah ajeg mesu budi lan raga nganggo cara ngurangi mangan lan turu”. Artinya Kurangi makan dan tidur yang berlebihan agar kesehatan kita senantiasa terjaga.
  2. “Kawula mung saderma, mobah-mosik kersaning Hyang sukmo”. Artinya Lakukan yang kita bisa, setelahnya serahkan kepada Tuhan.
  3. “Ambeg utomo, andhap asor”. Artinya Selalu menjadi yang utama tapi selalu rendah hati.
  4. “Ora kena nglarani”. Artinya Jangan melukai orang lain.
  5. “Golek sampurnaning urip lahir batin lan golek kusumpurnaning pati”. Artinya Kita bertanggung jawab untuk mencari kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
  6. “Ala lan becik iku gegandhengan, Kabeh kuwi saka kersaning Pangeran”. Artinya Kebaikan dan kejahatan ada bersama-sama, itu semua adalah kehendak Tuhan.
  7. “Manungsa mung ngunduh wohing pakarti”. Artinya Kehidupan manusia baik dan buruk adalah akibat dari perbuatan manusia itu sendiri.
  8. “Narimo ing pandum”. Artinya Menerima segala rintangan dengan ikhlas.
  9. “Adigang, adigung, adiguno “. Artinya jaga kelakuan, jangan somobong dengan kekuatan, kedudukan, ataupun latarbelakangmu.
  10. “Urip kang utama, mateni kang sempurna”. Artinya Selama hidup kita melakukan perbuatan baik maka kita akan menemukan kebahagiaan di kehidupan selanjutnya.
  11. “Mohon, mangesthi, mangastuti, marem”. Artinya Selalu meminta petunjuk Tuhan untuk meyelaraskan antara ucapan dan perbuatan agar dapat berguna bagi sesama.
  12. “Alam iki sejatining Guru”. Artinya Alam adalah guru yang sejati.
  13. “Gusti iku cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan”. Artinya Tuhan itu dekat meski kita tubuh kita tidak dapat menyentuhnya dan akal kita dapat menjangkaunya.
  14. “Memayu hayuning pribadi; memayu hayuning kulawarga; memayu hayuning sesama; memayu hayuning bawana”. Artinya berbuat baik bagi diri sendiri, keluarga, sesama manusia, makhluk hidup dan seluruh dunia.
  15. “Natas, nitis, netes”. Artinya Dari Tuhan kita ada, bersama Tuhan kita hidup, dan bersatu dengan Tuhan kita kembali.
  16. “Aja mbedakake marang sapadha-padha”. Artinya Hargai perbedaan, jangan membeda-bedakan sesama manusia.
  17. “Rela lan legawa lair trusing batin”. Artinya Ikhlas lahir batin.
Update:
Kumpulan Pepatah Jawa dan ada artinya yang kurang mengerti penggunaan bahasanya:
  1. Mburu uceng kelangan dheleg - Untuk menyatakan ketika mencari yang kecil justu kehilangan yang lebih beharga. 
  2. Esok dhele sore tempe - Untuk menyatakan orang yang mudah terbawa angin dan tidak punya pendirian. 
  3. Cecak nguntal cagak - Untuk menyatakan suatu keinginan yang tidak seimbang dengan kekuatan.Cincing-cincing mekso klebus - Untuk menyatakan maunya irit tapi boros.
  4. Koyo banyu karo lengo - Untuk menyatakan orang yang tidak bisa rukun dan akur.
  5. Diwenehi ati ngrogoh rempela - Untuk menyatakan orang yang tidak bersyukur ketika diberi.
  6. Emban cindhe emban siladan - Untuk menyatakan orang yang pilih kasih dalam memberi atau membela.
  7. Ojo Keminter Mundak Keblinger, Ojo Cidra Mundak Ciloko - Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah; Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.
  8. Ojo Adigang, Adigung, Adiguna - Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti
  9. Ojo Milik Barang Kang elok - Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah
  10. Aja Mangro Mundak Kendo - Jangan berfikir mendua agar tidak luntur niat dan semangat.
  11. Kegedhen empyak kurang cagak - Untuk menyatakan punya cita cita yang besar tetapi tidak punya kemampuan yang cukup.
  12. Milih milih tebu oleh boleng - Untuk menyatakan terlalu banyak pertimbangan yang akhirnya justru mendapat yang tidak baik.
  13. Kakehan gludug ora udan - Untuk menyatakan orang yang banyak bicara tetapi hasilnya tidak tampak.
Kumpulan pepatah bahasa jawa tanpa arti dalam bahasa indonesia
  1. Ajining Diri Soko Lathi, Ajining Rogo Soko Busono 
  2. Urip Sadermo Nglakoni Tumekaning Takdir
  3. Sak Bejo-bejone Wong Kang Lali Isih Bejo Wong Kang Eling Lan Waspodo
  4. Wong jowo ilang jawane
  5. Becik ketitik olo ketoro
  6. Kacang manut lanjaran
  7. Becik ketitik olo ketoro
  8. Kacang manut lanjaran
  9. Nandur ngunduh, tlaten panen
  10. Mendhem njero mikul nduwur
  11. Jer basuki mawa beyo
  12. Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani
  13. Witing tresno jalaran soko kulino
  14. Nandur ngunduh, tlaten panen
  15. Mendhem njero mikul nduwur
  16. Jer basuki mawa beyo
  17. Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani
  18. Witing tresno jalaran soko kulino 
  19. Wong Sing Rumongso Pinter Tondo Yen Bodho
    (Sumber: ocha-katacinta.blogspot.com)

Itulah Kata kata mutiara yang bisa JowoSEO tampilkan dari berbagai sumber.
semoga bermanfaat.

More about